BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat ini terdapat beragam inovasi baru
di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi
tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan
agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga
mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan
menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret.
Seorang guru perlu memperhatikan konsep
awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik
tidak akan berhasilkan menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan
sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah
konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah,
dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk
konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut,
pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan
keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan
pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran
karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang
siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan konstruktivisme ?
2. Apa
karakteristik pembelajaran konstruktivisme di SD ?
3. Apa
saja jenis-jenis konstruktivisme di SD ?
4. Bagaimana
implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran IPS ?
5. Apa
dampak teori konstruktivisme dalam pembelajaran ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
mengetahui tentang konstruktivisme
2. Untuk
mengetahui karakteristik pembelajaran konstruktivisme di SD
3. Untuk
mengetahui jenis-jenis konstruktivisme di SD
4. Untuk
mengetahui implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran IPS
5. Untuk
mengetahui dampak teori konstruktivisme dalam pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KONSTRUKTIVISME
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam stuktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan itu
terbentuk bukan dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu
sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang di amatinya. Menurut
konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi
dikontruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu tidak bersifat statis akan
tetapi bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat dan mengkontruksinya.
[1]
Konstruktivisme merupakan pandangan
filsafat yang di kemukakan oleh Giambatista Vico (1710). Vico adalah seorang
sejarawan yang berkebangsaan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan
menyatakan bahwa “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan
dari ciptaannya”. Vico selanjutnya menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti
“mengetahui bagaimana membuat sesuatu” (Suparno, 1997:24), ini berarti bahwa
seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa
yang membangun sesuatu itu.
Selain Vico, ahli lain yang dapat di
kategorikan memiliki aliran konstruktiv adalah Jean Piaget. Menurut Piaget
(1971) pengetahuan itu akan bermakna bila di cari dan di temukan sendiri oleh
peserta didik bukan hasil pemberitahuan dari orang lain, termasuk guru.
Selanjutnya, Piaget dalam Sanjaya (2007:194)[2]
menyatakan bahwa setiap individu berusaha dan mampu mengembangkan kemampuannya
sendiri melalui skema yang ada dalam struktur kognitifnya. Skema ini terus
menerus di perbaharui dan di ubah melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Dengan demikian, tugas guru adalah memotifasi peserta didik untuk mengembangkan
skema yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi tersebut.
Ada beberapa dampak utama teori Piaget
terhadap praktik pembelajaran di ruang kelas, diantaranya:
1. Guru
harus berusaha beradaptasi dengan daya berfikir anak, karena cara berfikir anak
berbeda dan kurang logis di banding orang dewasa. Salah satu cara yaitu dengan
meciptakan situasi belajar yang memungkinkan peserta didik dapat belajar
sendiri.
2. Anak
belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Karena itu, peran guru
merancang tugas yang di dalamnya anak dapat menyelesaikan masalah sendiri. Guru
di harapkan dapat memberikan tugas yang di rancang khusus untuk membimbing
mereka menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.
3. Pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak artinya, ketika anak-anak mencoba
memecahkan masalah, penalaran merekalah yang penting daripada jawabannya.
Karena itu penting sekali bahwa guru tidak menghukum anak untuk jawaban yang
salah, tetapi yang dinalar dengan baik.
Filasafat konstruktivisme beranggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan
objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan
pendapat Poediadi (2005:70)[3]
bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan
rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang
yang telah di bangun atau kosntruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat
dari interaksi dengan lingkungannya.
Menurut teori konstruktivistik, satu
prinsip yang paling penting dalam
psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan
pengetahuan kepada peserta didik. Peserta dididk harus membangun sendiri pengetahuan
sendiri di dalam benaknya. Dalam proses pembelajaran, menurut Trianto (2007:13)[4]
guru agar memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan cara memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka
sendiri, mengajar mereka agar sadar, dan secara sadar menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar.
Pandangan ini menghendaki proses belajar
bermakna (meaningful learning), karna pada dasarnya pendidikan itu adalah
sebagai upaya mengembangkan aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta
didik secara utuh. Peserta didik memiliki ide, gagasan, pengetahuan tentang
lingkungan dan fenomena di sekitarnya. Mereka berusaha untuk mempertahan ide,
gagasan, dan pengetahuan yang berkaitan dengan struktur kognitif yang telah di
bangunnya sejak awal, sebagai bentuk pengorganisasian ide tersebut. Jadi
berdasarkan pandangan konstruktivistik belajar itu proses rekonstruksi
pengetahuan dalam pikiran peserta didik.
Belajar akan bermakna bagi peserta
didik, apabila materi yang di pelajari sesuai dengan pengetahuan yang di miliki
peserta didik sebelum mengikuti aktifitas pembelajaran. Apabila tidak terjadi
keterkaitan antara kedua hal tersebut, maka yang terjadi hanyalah belajar
mengingat dan menghafal dan bukan merupakan kondisi belajar yang kondusif dan
berperan sebagai fasilitator, dan motivator agar proses pembelajaran dapat
berlangsung dengan baik.
Belajar bermakna merupakan suatu proses
di kaitan informasi baru pada konsep relefan yang terdapat struktur kognitif
seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar di tandai
oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau
situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif
siswa. Dengan demikian, proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep
atau fakta-fakta tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep yang di
pelajari akan di pahami secara baik dan tidak mudah di lupakan. Untuk itu, agar
terjadi proses belajar bermakna, maka guru harus berusaha mengetahui dan menggali
konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan di ajarkan. Dengan
kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang di
pelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indra daripada hanya menjelaskan
penjelasan guru.
Dalam hubungannya dengan belajar
bermakna, pendekatan konstruktivisme merupakan upaya untuk meningkatkan hasil
belajar siswa dengan jalan mengalahkan keaktifan siswa (student centered) dalam
proses belajar mengajar. Nuhadi (2002:10)[5]
menyatakan bahwa konstruktivisme mengajarkan bahwa pengetahuan dibangun manusia
sedikit demi sedikit, hasilnya di perluas melalui konteks yang terbatas dan
tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep,
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Hal ini sesuai
dengan pendapat Wiriaatmadja (2002: 307-308)[6]
prose belajar mengajar ilmu-ilmu sosial akan tangguh apabila melakukan banyak
kegiatan aktif, seperti :
1. Belajar
mengajar aktif harus di sertai dengan berfikir reflektif dan pengambilan
keputusan selama kegiatan berlangsung, karena proses pembelajaran berlangsung
dengan cepat dan peristiwa dapat berkembang tiba-tiba.
2. Melaui
proses belajar aktif siswa lebih mudah mengembangkan dan memahami pengetahuan
baru mereka.
3. Proses
belajar aktif membangun kebermaknaan pembelajaran yang di perlukan agar peserta
didik dapat mengembangkan pemahaman sosialnya.
4. Peran
guru secara bertahap bergeser dari berbagai sumber pengetahuan atau model
kepada peranan yang tidak menonjol untuk mendorong siswa agar mandiri dan
berdisiplin.
5. Proses
belajar mengajar ilmu-ilmu sosial yang tangguh menekankan proses pembelajaran
dengan kegiatan aktif di lapangan untuk mempelajari kegidupan nyata dengan
menggunakan bahan dan keterampilan yang ada di lapangan.
Karli (2003:2)[7]
menyatakan konstruktivime adalah salah satu pandangan tentang proses
pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan)
diawali dengan terjadi konflik kognitif yang hanya dapat di atasi dengan
pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan di bangun oleh
anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Untuk dapat terjadinya proses
pembelajaran yang berbasis pendekatan kontruktivisme, maka para guru harus
senantiasa memegang prinsip-prinsip pembelajaran, sebagaimana disampaikan oleh
Suparno (1997:49)[8]
bahwa secara garis besar prinsip-prinsip kontruktivisme yang senantiasa harus
diperhatikan adalah: (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara
personal maupun secara sosial; (2) pengetahun tidak di pindahkan dari guru ke
siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif
mengkonstruksi secara terus menurus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju
konsep yang lebih perinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru
sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa
berjalan mulus, siswa perlu di kondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah,
menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan-gagasan.
Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori
konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan susatu
informasi kompleks ke situasi lain, dan dapat menjadi milik mereka sendiri.
Pembelajaran harus di kemas menjadi proses mengkontruksi bukan menerima
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran.[9]
Ciri-ciri
pembelajaran konstruktivisme
Ada sejumlah
ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori
konstruktivisme, yaitu:
1.
Menekankan pada proses belajar,
bukan proses mengajar
2. Mendorong
terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3. Memandang
siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4. Berpandangan
bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5. Mendorong
siswa untuk melakukan penyelidikan
6. Menghargai
peranan pengalaman kritis dalam belajar
7. Mendorong
berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8. Penilaian
belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9. Berdasarkan
proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10. Banyak
menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi,
kreasi, dan analisis
11. Menekankan
bagaimana siswa belajar
12. Mendorong
siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain
dan guru
13. Sangat
mendukung terjadinya belajar kooperatif
14. Melibatkan
siswa dalam situasi dunia nyata
15. Menekankan
pentingnya konteks siswa dalam belajar
16. Memperhatikan
keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang
didasarkan pada pengalaman nyata [10]
Kenyataan
menunjukkan bahwa seorang guru yang mengajar di kelas sering mendapkan
siswa-siswinya mempunyai pemahaman yang berbeda tentang pengetahuan yang
diperoleh dan dipelajarinya, padahal siswa-siswa belajar dalam lingkungan
sekolah yang sama, guru yang sama, dan bahkan buku teks yang sama. Hal ini
menunjukan bahwa pengetahuan tidak begitu saja di transfer dari guru ke siswa
dalam bentuk tertentu, melainkan siswa membentuk sendiri pengetahuan itu dalam
pikirannya masing-masing sehingga pengetahuan tentang sesuatu dipahami secara
berbeda-beda.
Pengetahuan
tumbuh dan berkembang dari buah pikiran manusia melaui konstruksi berfikir,
bukan melalui transfer dari guru kepada siswa. Oleh karena itu siswa tidak di
anggap sebagai tabula rasa atau berotak kosong ketika berada di kelas. Ia telah
mebawa berbagai pengalaman, pengetahuan yang dapat digunakan untuk
mengkonstruksikan pengetahuan baru atas dasar perpaduan pengetahuan sebelumnya
dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi milik mereka.
Esensi
dari teori konstruktivisme adalah bahwa peserta didik harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan bila perlu
informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini, maka pembelajaran
harus dikemas menjadi proses mengakomodasi, bukan menerima pengetahuan. Dalam
pandangan konstruktivisme, strategi untuk memperoleh pengetahuan lebih penting
daripada seberapa banyak peserta didik mengingat atau menghafal pengetahuan.
Dalam
teori konstruktivistik adalah bahwa peserta didik harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan bila perlu
informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini, maka pembelajaran
harus dikemas menjadi proses mengakomodasi, bukan menerima pengetahuan. Dalam
pandangan konstruktivisme, strategi untuk memperoleh pengetahun lebih penting
daripada seberapa banyak peserta didik mengingat atau menghafal pengetahuan.
Dalam
konstruktivistik tugas guru menurut Sagala (2006:88)[11]
yaitu memfasilitasi proses tersebut dengan : 1) menjadikan pengetahuan bermakna
dan relevan bagi peserta didik, 2) memberi kesempatan bagi peserta didik untuk
menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan 3) menyadarkan peserta didik agar
menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Selajutnya
ada lima gambaran umum kaum konstruktivistik yang memiliki pengaruh terhadap
kegiatan pembelajaran, yaitu :
1. Peserta
didik tidak di pandang sebagai objek dalam pembelajaran yang pasif, tetapi
peserta didik adalah subjek yang aktif dalm proses pembelajaran, karena mereka
membawa serta pengetahuan dan pemahaman pada saat pembelajaran berlangsung.
2. Aktivitas
pembelajaran di pandang sebagai suatu sarana untuk mengaktifkan peserta didik
dalam belajar (active learning).
3. Guru
membawa serta pengetahuan dan pemahamannya ke dalam kelas yang sudah tentu akan
mempengaruhi proses pembelajaran.
4. Pembelajaran
bukan pengalihan pengetahuan (transfer of
knowledge)
5. Kurikulum
adalah program yang terdiri dari tugas belajar, materi, dan sumber belajar.
Peserta didik akan membentuk pengetahuannya berdasarkan pemahaman dan
pengalaman barunya dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan
pernyataan di atas, berarti peserta didik di posisikan sebagai subjek belajar
yang dinamis, namun memerlukan arahan dan bimbingan agar berperan aktif melalui
pemanfaatan media dan sumber pembelajaran yang merangsang daya nalar peserta
didik. Peserta didik tidak sekedar menerima yang bermakna untuk mengembangkan
potensi diri, intelektual, afektif, dan psikomotoriknya.[12]
Metode mengajar
dalam pendekatan konstruktivisme
Salah satu contoh yang disarankan adalah memulai dari
apa yang menurut siswa hal yang biasa, padahal sesungguhnya tidak demikian.
Perlu diupayakan terjadinya situasi konfik pada struktur kognitif siswa.
Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka menduga cecak atau cacing
tanah hanya satu macam, padahal keduanya terdiri lebih dari satu genus (bukan
hanya berbeda species). Berikut ini akan dicontohkan model untuk pembelajaran
mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap dalam pembelajaran konstruktivisme
(ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)
Fase
Eksplorasi
o
Diperlihatkan tanah berisi cacing
dan diajukan pertanyaan: “Apa yang kau
ketahui tentang cacing tanah?”.
o
Semua jawaban siswa ditampung
(ditulis dipapan tulis jika perlu).
o
Siswa diberi kesempatan untuk
memeriksa keadaan yang sesungguhnya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan
hal-hal yang tidak sesuai dengan jawaban mereka semula.
Fase
Klarifikasi
o
Guru memperkealkan macam-macam
cacing dan spesifikasinya.
o
Siswa merumuskan kembali pengetahuan
mereka tentang cacing tanah.
o
Guru memberikan masalah berupa
pemilihan cacing yang cocok untuk dikembangbiakkan.
o
Siswa mendiskusikannya secara
berkelompok dan merencanakan penyelidikan.
o
Secara berkelompok siswa melakukan
penyelidikan untuk menguji rencananya.
o
Siswa mencari tambahan rujukan
tentang manfaat cacing tanah dulu dan sekarang.
Fase
Aplikasi
o
Secara berkelompok siswa melaporkan
hasilnya, dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil kelompok dalam diskusi kelas.
o
Secara bersama-sama siswa merumuskan
rekomendasi untuk para pemula yang ingin ber-“ternak cacing” tanah.
o
Secara perorangan siswa membuat
tulisan tentang perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil
pengamatannya.[13]
B.
KARAKTERISTIK
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DI SD
Secara
historis, konstruktivisme berakar pada zaman klasik yunani terutama pada model
dialog yang dikembangkan oleh Socrates dengan para murid-muridnya. Socrates
bertaya pada murid-muridnya dan kemudian mereka menjawabnya sesuia denagn jenis
pertanyaan yang diajukannya. Melalui pertanyaan tersebut para murid
mengkonstruksi jawaban sambil menyadari kelemahan-kelemahan dalam kemampuan
piker mereka (Resscl.2002)[14],
kini. Dialog Socrates, atau lebih
tepat disebut dengan teknik bertanya atau kegiatan Tanya jawab antara guru
dengan siswamasih mereupakan sarana bagi guru yang akan membandingkan pelajaran
konstrutivistik guru menggali potensi belajar secara memfasilitasi
perkembangannya, pengalaman-pengalaman belajar dialog. Teknik bertanya atau
kegiatan Tanya jawab seperti relevan dengan teknik bertanya serta model-model
pertanyaan dalam pembelajaran ips.
Pada
abad ke-20, Jean Piaget dan Jhon Dewey mengembangkan teori pendidikan dan
perkembangan siswa (childhaad development
and education) atau yang dikenal dengan progres
sive education yang kemudian berpengaruh terhadap preoses kelahiran aliran
konstruktivistik dalam pembelajaran serta pengembangan kurikulum. Dalam teori
yang dikembangkannya, piaget meyakini bahwa manusia belajar melalui proses
konstruksi satu stuktur logika setelah stuktur logika lain dicapainya.
Maksudnya, manusia dapat mempelajari suatu yang baru setelah sesuatu yang lain
dipelajari. Dia juga menyimpulkan bahwa kemampuan nalar anak dan cara
pikirannya (mode of thinking) berbeda
dengan cara piker orang dewasa.
Teori
pembelajaran konstrutivistik semakin kuat setelah munculnya para pemikir dalam
pendidikan. Psikologi dan sosiologi yang mengembangkan perspektif baru dalam
pembelajaran. Beberapa diantaranya adalah Lev Vygotsky, Jenome Brunner, and David Ausubel. Vygotsky melahirkan aspek
social dalam pembelajaran kedalam pembelajaran konstrutivistik.
Sedangkan
Jerome Brunner memelapori pentingnya perubahan kurikulum yang didasarkan atas
pemikiran bahwa belajar merupakan proses yang aktif serta proses social dimana
para siswa mengkonstruksi gagasan-gagasan atau konsep baru yang didasarkan atas
pengetahuan yang telah dipelajarinya. Pembelajaran dengan menggunakan konsep
yang diambil dari beberapa disiplin tertentu adalah relavan dengan pemikiran
Brunner.[15]
C.
JENIS-JENIS
KONSTRUKTIVISME
Menurut Suparno (1997:43)[16]
konstruktivisme dapat di bedakan menjadi kosntruktivisme psikologis dan
konstruktivisme sosiologis. Konstruktivisme sosiologis bertitik tolak dari
perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya. Adapun
konstruktivisme sosiologis lebih menekankan pada masyarakat yang membangun
pengetahuan. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu konstruktivisme
yang lebih personal berkembang atas ide Piaget, dan yang lebih sosial
berkembang atas ide Piaget, dan yang lebih sosial berkembang atas ide Vysotsky.
Adapun konstruktivisme sosiologis berdiri sendiri.
1. Konstruktivisme
Psikologis Personal
Konstruktivisme psikologis personal
sering disebut konstrutivisme kognitif Piaget. Menurut paham ini konstruksi
pengetahuan terjadi melalui proses organisasi dan adaptasi. Organisasi
merupakan kemampuan organisme mengsistematiskan atau mengorganisasikan
proses-proses fisik atau psikologis menjadi struktur-struktur. Struktur
merupakan sistem yang teratur dan berhubungan yang memuat konsep-konsep yang
saling terkait satu sama lain.
Adaptasi merupakan kemampuan individu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Adaptasi di lakukan melalui proses
asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi, seseorang menggunakan struktur
kognitif atau sesuatu yang dimiliknya untuk menanggapi masalah lngkungan. Dalam
proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur kognitif yang ada
dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungan.
Proses pembelajaran akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan peringakat perkembangan kognitif siswa. Siswa
hendaknya banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek
fisik, yang ditunjang dengan interaksi dengan teman sebaya. Guru hendaknya
banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan
lingkungan dan secara aktif mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan
(Surya: 59)
Selanjutnya Surya (2003:59)[17]
mengatakan implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran,
adalah sebagai berikut :
a. Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, dalam
mengajar guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir
anak.
b. Anak-anak
akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan
sebaik-baiknya.
c. Bahan
yang harus dipelajari anak hendaknya di rasakan baru tetapi tidak asing.
d. Beri
peluang agar nak belajar sesuai dengan peringkat perkembangannya.
e. Di
dalam kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi peluang untuk saling berbicara
dengan teman-temannya dan saling berdiskusi
2. Konstruktivisme
Psikologi Sosial
Konstruktivisme psikologis sosial
dikembangkan berdasarkan ide dari Vygotsky. Menurut paham ini konstruksi
pengetahuan terjadi melalui iteraksi sosial antar siswa. Pengetahuan
dikonstruksi oleh setiap individu, yang selanjutnya keadaan ini dapat
disesuaikan oleh setiap individu. Konstruksi pengetahuan terjadi karena adanya
hubungan yang kompleks antara elemen-elemen tingkah laku siswa dan interaksi
sosial.
Vygotsky menyatakan bahwa bahasa
merupakan aspek sosial. Pembicaraan yang bersifat egosentrik dari anak
merupakan permulaan dari pembentukan kemampuan berbicara yang pokok (inner
speech) yang akan menjadi alat dalam berfikir. Inner speech berperan dalam
pembentukan pengertian spontan. Pengertian spontan mempunyai dua segi yaitu
pengertian dalam diri sendiri dan pengertian dalam diri sendiri dan pengertian
untuk orang lain. Anak akan berusaha mengungkapkan pengertian yang mereka
miliki dengan simbol yang sesuai untuk berkomunikasi dengan orang lain.
3. Konstruktivisme
Sosiologi
Konstruksi sosiologis menekankan
pengetahuan ilmiah sebagai konstruksi sosial, bukan konstruksi individual.
Dalam arti kata bahwa pengetahuan merupakan penemuan sosial dan sekaligus
faktor dalam pereubahan sosial. Sebagaiman dikemukakan oleh Berger yang
mengatakan bahwa kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia yang dialami
bersama dengan orang lain.
Pandangan kelompok konstruktivisme
sosiologis ini menekankan lingkungan, masyarakat dan dinamika manusia akan
dapat melakukan pembentukan ilmu pengetahuan. Mereka cenderung mengambil fungsi
dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan manusia. Hal ini bertentangan dengan konstruktivisme
personal yang beranggapan bahwa pengetahuan seseorang itu bentukan oranng itu
sendiri sehingga tidak dapat masyarakat menentukan konstruksi pengetahuan
seseorang, melaiankan orang itu sendiri yang tetap harus menginterfrestasikan
dan mengambil makna.
Pada pemikiran kelompok konstruktivisme
sosiologis ini sejalan dengan pemikiran Witting (dalam Muhibbin, 2005 : 66)[18],
yang memberikan pandangan tentang belajar sebagai “...any retatively permanent
change in an organism behavioral
repertoire that accurs as aresult of experience”, Maksunya bahwa belajar
merupakan perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala aspek
tingkahlaku organisme, sebagai hasil pengalama. Perubahan tersebut terjadi
melalui suatu proses, artinya
membutuhkan waktu.
Menurut pandangan itu, belajar merupakan
sesuatu proses perubahan sebagai akibat dari pengalaman, maka guru sebagai
pembimbing peserta didik, harus memberikan berbagai macam pengalaman belajar
(learning experience) kepada peserta didik, agar perubahan prilaku tersebut
dapat terjadi. Kegiatan pembelajaran ini memiliki beberapa komponen, yaitu :
1). peserta didik yang berfungsi sebagai subjek belajar. 2). guru yang
berfungsi sebagai pebimbing, fasilitator dan penyedia iklim belajar yang
kondusif agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. 3). tujuan
yang merupakan suatu arah yang ingin dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan.
Pembelajaran pada umumnya bertujuan
untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, pembelajaran kognitif
(pengetahuan) mencangkup pemerorelahan informasi, dan konsep. Pembelajaran ini
tidak hanya berkenann dengan bahan ajar,namun juga denagan analisis, dan
penerapan nya pada situasi baru. Pembelajaran perilaku (keterampilan) mencakup
pengembangan kompetensi peserta didik dalam mengerjakan tugas memecahkan
masalah, dan menungkapkan pendapat. Adapun pembelajaran afektif (sikap)
mencakup pengkajian dan penjelasan tentang perasaan dan preferensi.
Pembelajaran aktif atas informasi,
keterampilan dan sikap berlangsung melalui proses peneyelidikan atau proses
bertanya. Peserta didik dikondisikan dalam proses mencari (aktif) bukan sekadar
menerima (pasif). Dengan kata lain, peserta didik harus mencari jawabannya
sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sendiri. Mereka harus
berupaya untuk mencari pemecahan atau masalah yang dikemukakan oleh guru.
Dengan demikian mereka akan termotivasi untuk mencari informasi dan menguasai
keteraampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
Mereka tergerak untuk mengkaji apa yang mereka untuk berpikir, bekerja, dan
merasa.
Berdasarkan pandangan di atas, berarti
pembelajaran bukan sekedar proses penyampaian pengetahuan (transper of
knowledger) sebanyak-banyaknya kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu
peserta didik harus dibiasakan untuk menggunakan pengetahuan, kemampuan, dan
keterampilan yang dimiliki untuk memperoleh pengetahuan atauinformasi baru yang
berguna bagi dirinya sekarang dan untuk masa yang akan datang.
D.
IMPLEMENTASI
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN IPS
Salah satu prinsip paling penting dari
psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya semata-mata memberikan pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus mebangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru
dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar. Paradikma
konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan
awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar
dalam konstruksi pengetahuan yang baru.
Pendekatan konstruktivisme menghendaki
siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat
membantu proses ini dengan cara mengajar yang membuat informasi lebih bermakna
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
sendiri ide-ide mereka. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat membantu
siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus di upayakan
agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Oleh karena itu, agar pembelajaran lebih
bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupak solusi
yang baik untuk dapat di terapkan.
Alasan lain perlunya pendekatan
konstruktivisme dalam pembelajaran adalah pengetahuan yang akan dimiliki siswa
bermula dari keaktifan siswa untuk mencari dan menemukan. Pengetahuan tidak
akan di peroleh dari siswa yang pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru,
siswa kan menyesuaikan suatu pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang
telah dimilikinya melalui berinteraksi sosial dengan siswa yang lain.
Konstruktivisme berawal dari pandangan
kognitivisme. Kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan
oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivisme menyatakan
bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan
informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yang di terima
disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
Paradigma konstruktivisme bertolak belakang
dengan pola belajar mengajar konvensional yang pada umumnya mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1.
Guru yang banyak bicara
di kelas
2.
Pembelajaran banyak di
tekankan pada penggunaan buku teks
3.
Meskipun mengaku
menggunakan strategi belajar kooperatif, gru jarang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang mestinya dapat
diselesaikan bersama oleh siswa.
4.
Menugaskan siswa untuk
mengerjakan tugas mandiri padahal tugasnya tergolong low level skill yang tidak menurut kemampuan
berfikir rumit, dan guru kurang menghargai kemampuan berfikir peserta didik.
5.
Pada umumnya guru tidak
membuat siswa mampu berfikir dengan membiasakan mereka berhadapan dengan isu
yang menantang, dan acapkali meminta siswa hanya memberikan satu jawaban yang
benar.
6.
Pendidikan di sekolah
dirumuskan sebagai dunia yang pasti. Peserta didik datang ke sekolah untuk tahu
hal yang pasti tersebut, dan ini pun sepenuhnya di sediakan oleh guru. Tidak
ada kemungkinan bagi siswa untuk memperoleh sesuatu yang lain yang ingin
diketahuinya.[19]
E.
DAMPAK
TEORI KONSTRUKTIVISME TERHADAP PEMBELAJARAN
Dampak teori konstruktivisme secara umum
yang merupakan gabungan penerapan baik konsep Piaget maupun Vygotsky terhadap
pembelajaran, antara lain dapat berkenaan dengan :
Tujuan Pendidikan: Menghasilkan individu
atau anak yang memiliki kemampuanberfikir untuk menyelesaikan setiap masalah
yang di hadapi.
Kurikulum: Konstruktivisme tidak
memerlukan kurikulum yang Standarisasikan.Oleh karena itu, lebih diperlukan
kurikulum yang telah disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa. Juga diperlukan
kurikulum yang lebih menekankan keterampilanpemecahan masalah (hands-on problem
solving). Dengan katalain kurikulum harus dirancang sedemikian rupa,
sehinggaterjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan maupunketerampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik.
Pengajaran: Di bawah teori
konstruktivisme, pendidik berfokus terhadapbagaimana menyusun hubungan antar
fakta-fakta sertamemperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa.
Pengajaran harus menyusun strategi
pembelajarannya denganmemperhatikan respon/tanggapan dari siswa serta
mendorongsiswa untuk menganalisis, menafsirkan dan meramalkaninformasi. Guru
juga harus berupaya dengan kerasmenghadirkan pertanyaan berujung terbuka
(open-ended) danmendorong terjadinya dialog yang ekstensif antar siswa.
Dalamkonsep ini sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitator danmediator dan
teman (mitra belajar) yang membangun situasikondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan danketerampilan pada peserta didik.
Pembelajar Diharapkan selalu aktif dan
dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
Penilaian: konstruktivisme tidak
memerlukan adanya tes yang baku sesuaidengan tingkat kelas. Namun, justru
memerlukan sesuatu penilaian yang memerlukan bagian dari proses pembelajaran
(penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa berperan lebih besar dalam
menilai dan mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri. Hal ini
merupakan alasan untuk menghadirkan portofolio secara ringkas dapat di maknai
sebagai bukti-bukti fisik (hail catatan anekdot dan lain-lain) hasil belajar
atau hasil belajar siswa.[20]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Belajar akan bermakna bagi peserta
didik, apabila materi yang di pelajari sesuai dengan pengetahuan yang di miliki
peserta didik sebelum mengikuti aktifitas pembelajaran. Apabila tidak terjadi
keterkaitan antara kedua hal tersebut, maka yang terjadi hanyalah belajar
mengingat dan menghafal dan bukan merupakan kondisi belajar yang kondusif dan
berperan sebagai fasilitator, dan motivator agar proses pembelajaran dapat
berlangsung dengan baik.
Ciri-ciri
pembelajaran konstruktivisme
Ada sejumlah
ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori
konstruktivisme, yaitu:
1.
Menekankan pada proses belajar,
bukan proses mengajar
2. Mendorong
terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3. Memandang
siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4. Berpandangan
bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5. Mendorong
siswa untuk melakukan penyelidikan
6. Menghargai
peranan pengalaman kritis dalam belajar
7. Mendorong
berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8. Penilaian
belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9. Berdasarkan
proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10. Banyak
menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi,
kreasi, dan analisis
11. Menekankan
bagaimana siswa belajar
12. Mendorong
siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain
dan guru
14. Melibatkan
siswa dalam situasi dunia nyata
15. Menekankan
pentingnya konteks siswa dalam belajar
16. Memperhatikan
keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang
didasarkan pada pengalaman nyata
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Susanto.2014.
Pengembangan Pembelajaran IPS. Jakarta: Prenadamedia.
Dalyono. 2009. Psokologi pendidikan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Nana Supriatna, dkk.
Pendidikan IPS SD. Bandung: UPI PRESS.
Ratnawilisdahar.
2006. teori-teori belajar dan pembelajaran. Bandung: Erlangga.
Suyono dan Hariyanto.
2014. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Rosda
Winasanjaya. 2005. Pembelajaran dalam implementasi kurikulum
berbasis kompetensi. Jakarta: Kencana.
[1] Winasanjaya, Pembelajaran
dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi Jakarta: Kencana, 2005.
Hal 118
[2]Menurut Sanjaya (2007 : 194) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia, 2014)
[3]Menurut Poediadi
(2005:70) dalam buku Pengembangan
Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenadamedia group, 2014)
[4]Menurut Trianto (2007:13)
dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS,
(Jakarta: Prenamedia group, 2014)
[5]Menurut Nuhadi (2002 :
10) dalam buku Pengembangan Pembelajaran
IPS, (Jakarta: Prenamedia group, 2014)
[6]Menurut wiriaatmadja
(2002 : 307-308) dalam buku Pengembangan
Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenamedia Group,2014)
[7]Menurut Karli (2003 : 2)
dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta
: Prenamedia group, 2014)
[8]Menurut Suparno (1997:
49) dalam buku Pengembangan Pembelajaran
IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[9]Ahmad Susanto, Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta:
Prenadamedia group, 2014).
Hal 113
[10] Dalyono, Psokologi
pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009. Hal 34
[11]Menurut Sagala (2006 :
88) dalm buku Pengembangan Pembelajaran
IPS, (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[13] Ratnawilisdahar, teori-teori belajar dan pembelajaran
(Bandung: Erlangga, 2006), hal 103.
[14]Menurut (Resscl 2002) dalam buku Pengembangan
Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[15]Nana Supriatna, dkk, Pendidikan IPS SD, (Bandung: UPI PRESS, 2007)
[16]Menurut Suparno (1997 : 43) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[17]Menurut Surya (2003 : 59) dalam bku Pengembangan
Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[18]Menurut Muhibbin (2005 : 66) dalam buku Pengembangan Pembelejaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[20] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung,
2014). Hal 122
Merit Casino Review – Merit Casino 2020
BalasHapusMerit Casino 메리트카지노 is an 카지노 online casino that offers online gaming. It was established in 바카라 사이트 2019 and is owned and operated by the UK Gambling Commission.