Jumat, 23 Oktober 2015

makalah konstruktivisme



BAB I
PENDAHULUAN

A.        LATAR BELAKANG
Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret.
Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasilkan menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.


B.        RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan konstruktivisme ?
2.      Apa karakteristik pembelajaran konstruktivisme di SD ?
3.      Apa saja jenis-jenis konstruktivisme di SD ?
4.      Bagaimana implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran IPS ?
5.      Apa dampak teori konstruktivisme dalam pembelajaran ?

C.        TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui tentang konstruktivisme
2.      Untuk mengetahui karakteristik pembelajaran konstruktivisme di SD
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis konstruktivisme di SD
4.      Untuk mengetahui implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran IPS
5.      Untuk mengetahui dampak teori konstruktivisme dalam pembelajaran











BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KONSTRUKTIVISME
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam stuktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan itu terbentuk bukan dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang di amatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikontruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat dan mengkontruksinya. [1]
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang di kemukakan oleh Giambatista Vico (1710). Vico adalah seorang sejarawan yang berkebangsaan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan menyatakan bahwa “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaannya”. Vico selanjutnya menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu” (Suparno, 1997:24), ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.
Selain Vico, ahli lain yang dapat di kategorikan memiliki aliran konstruktiv adalah Jean Piaget. Menurut Piaget (1971) pengetahuan itu akan bermakna bila di cari dan di temukan sendiri oleh peserta didik bukan hasil pemberitahuan dari orang lain, termasuk guru. Selanjutnya, Piaget dalam Sanjaya (2007:194)[2] menyatakan bahwa setiap individu berusaha dan mampu mengembangkan kemampuannya sendiri melalui skema yang ada dalam struktur kognitifnya. Skema ini terus menerus di perbaharui dan di ubah melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian, tugas guru adalah memotifasi peserta didik untuk mengembangkan skema yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi tersebut.
Ada beberapa dampak utama teori Piaget terhadap praktik pembelajaran di ruang kelas, diantaranya:
1.      Guru harus berusaha beradaptasi dengan daya berfikir anak, karena cara berfikir anak berbeda dan kurang logis di banding orang dewasa. Salah satu cara yaitu dengan meciptakan situasi belajar yang memungkinkan peserta didik dapat belajar sendiri.
2.      Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Karena itu, peran guru merancang tugas yang di dalamnya anak dapat menyelesaikan masalah sendiri. Guru di harapkan dapat memberikan tugas yang di rancang khusus untuk membimbing mereka menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.
3.      Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak artinya, ketika anak-anak mencoba memecahkan masalah, penalaran merekalah yang penting daripada jawabannya. Karena itu penting sekali bahwa guru tidak menghukum anak untuk jawaban yang salah, tetapi yang dinalar dengan baik.
Filasafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poediadi (2005:70)[3] bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah di bangun atau kosntruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya.
Menurut teori konstruktivistik, satu prinsip yang paling penting  dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada peserta didik. Peserta dididk harus membangun sendiri pengetahuan sendiri di dalam benaknya. Dalam proses pembelajaran, menurut Trianto (2007:13)[4] guru agar memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan cara memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, mengajar mereka agar sadar, dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Pandangan ini menghendaki proses belajar bermakna (meaningful learning), karna pada dasarnya pendidikan itu adalah sebagai upaya mengembangkan aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik secara utuh. Peserta didik memiliki ide, gagasan, pengetahuan tentang lingkungan dan fenomena di sekitarnya. Mereka berusaha untuk mempertahan ide, gagasan, dan pengetahuan yang berkaitan dengan struktur kognitif yang telah di bangunnya sejak awal, sebagai bentuk pengorganisasian ide tersebut. Jadi berdasarkan pandangan konstruktivistik belajar itu proses rekonstruksi pengetahuan dalam pikiran peserta didik.
Belajar akan bermakna bagi peserta didik, apabila materi yang di pelajari sesuai dengan pengetahuan yang di miliki peserta didik sebelum mengikuti aktifitas pembelajaran. Apabila tidak terjadi keterkaitan antara kedua hal tersebut, maka yang terjadi hanyalah belajar mengingat dan menghafal dan bukan merupakan kondisi belajar yang kondusif dan berperan sebagai fasilitator, dan motivator agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
Belajar bermakna merupakan suatu proses di kaitan informasi baru pada konsep relefan yang terdapat struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar di tandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian, proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep yang di pelajari akan di pahami secara baik dan tidak mudah di lupakan. Untuk itu, agar terjadi proses belajar bermakna, maka guru harus berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan di ajarkan. Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang di pelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indra daripada hanya menjelaskan penjelasan guru.
Dalam hubungannya dengan belajar bermakna, pendekatan konstruktivisme merupakan upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan jalan mengalahkan keaktifan siswa (student centered) dalam proses belajar mengajar. Nuhadi (2002:10)[5] menyatakan bahwa konstruktivisme mengajarkan bahwa pengetahuan dibangun manusia sedikit demi sedikit, hasilnya di perluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiriaatmadja (2002: 307-308)[6] prose belajar mengajar ilmu-ilmu sosial akan tangguh apabila melakukan banyak kegiatan aktif, seperti :
1.      Belajar mengajar aktif harus di sertai dengan berfikir reflektif dan pengambilan keputusan selama kegiatan berlangsung, karena proses pembelajaran berlangsung dengan cepat dan peristiwa dapat berkembang tiba-tiba.
2.      Melaui proses belajar aktif siswa lebih mudah mengembangkan dan memahami pengetahuan baru mereka.
3.      Proses belajar aktif membangun kebermaknaan pembelajaran yang di perlukan agar peserta didik dapat mengembangkan pemahaman sosialnya.
4.      Peran guru secara bertahap bergeser dari berbagai sumber pengetahuan atau model kepada peranan yang tidak menonjol untuk mendorong siswa agar mandiri dan berdisiplin.
5.      Proses belajar mengajar ilmu-ilmu sosial yang tangguh menekankan proses pembelajaran dengan kegiatan aktif di lapangan untuk mempelajari kegidupan nyata dengan menggunakan bahan dan keterampilan yang ada di lapangan.
Karli (2003:2)[7] menyatakan konstruktivime adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadi konflik kognitif yang hanya dapat di atasi dengan pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan di bangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Untuk dapat terjadinya proses pembelajaran yang berbasis pendekatan kontruktivisme, maka para guru harus senantiasa memegang prinsip-prinsip pembelajaran, sebagaimana disampaikan oleh Suparno (1997:49)[8] bahwa secara garis besar prinsip-prinsip kontruktivisme yang senantiasa harus diperhatikan adalah: (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahun tidak di pindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menurus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih perinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus, siswa perlu di kondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan-gagasan. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan susatu informasi kompleks ke situasi lain, dan dapat menjadi milik mereka sendiri. Pembelajaran harus di kemas menjadi proses mengkontruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran.[9]

Ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
1.      Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2.      Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3.      Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.      Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5.      Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
6.      Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar
7.      Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8.      Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9.      Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10.  Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses  pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
11.  Menekankan bagaimana siswa belajar
12.  Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
13.  Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
14.  Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
15.  Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
16.  Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17.  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata [10]

Kenyataan menunjukkan bahwa seorang guru yang mengajar di kelas sering mendapkan siswa-siswinya mempunyai pemahaman yang berbeda tentang pengetahuan yang diperoleh dan dipelajarinya, padahal siswa-siswa belajar dalam lingkungan sekolah yang sama, guru yang sama, dan bahkan buku teks yang sama. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan tidak begitu saja di transfer dari guru ke siswa dalam bentuk tertentu, melainkan siswa membentuk sendiri pengetahuan itu dalam pikirannya masing-masing sehingga pengetahuan tentang sesuatu dipahami secara berbeda-beda.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang dari buah pikiran manusia melaui konstruksi berfikir, bukan melalui transfer dari guru kepada siswa. Oleh karena itu siswa tidak di anggap sebagai tabula rasa atau berotak kosong ketika berada di kelas. Ia telah mebawa berbagai pengalaman, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan pengetahuan baru atas dasar perpaduan pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi milik mereka.
Esensi dari teori konstruktivisme adalah bahwa peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan bila perlu informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini, maka pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengakomodasi, bukan menerima pengetahuan. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi untuk memperoleh pengetahuan lebih penting daripada seberapa banyak peserta didik mengingat atau menghafal pengetahuan.
Dalam teori konstruktivistik adalah bahwa peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan bila perlu informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini, maka pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengakomodasi, bukan menerima pengetahuan. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi untuk memperoleh pengetahun lebih penting daripada seberapa banyak peserta didik mengingat atau menghafal pengetahuan.
Dalam konstruktivistik tugas guru menurut Sagala (2006:88)[11] yaitu memfasilitasi proses tersebut dengan : 1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi peserta didik, 2) memberi kesempatan bagi peserta didik untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan 3) menyadarkan peserta didik agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Selajutnya ada lima gambaran umum kaum konstruktivistik yang memiliki pengaruh terhadap kegiatan pembelajaran, yaitu :
1.      Peserta didik tidak di pandang sebagai objek dalam pembelajaran yang pasif, tetapi peserta didik adalah subjek yang aktif dalm proses pembelajaran, karena mereka membawa serta pengetahuan dan pemahaman pada saat pembelajaran berlangsung.
2.      Aktivitas pembelajaran di pandang sebagai suatu sarana untuk mengaktifkan peserta didik dalam belajar (active learning).
3.      Guru membawa serta pengetahuan dan pemahamannya ke dalam kelas yang sudah tentu akan mempengaruhi proses pembelajaran.
4.      Pembelajaran bukan pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge)
5.      Kurikulum adalah program yang terdiri dari tugas belajar, materi, dan sumber belajar. Peserta didik akan membentuk pengetahuannya berdasarkan pemahaman dan pengalaman barunya dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan pernyataan di atas, berarti peserta didik di posisikan sebagai subjek belajar yang dinamis, namun memerlukan arahan dan bimbingan agar berperan aktif melalui pemanfaatan media dan sumber pembelajaran yang merangsang daya nalar peserta didik. Peserta didik tidak sekedar menerima yang bermakna untuk mengembangkan potensi diri, intelektual, afektif, dan psikomotoriknya.[12]


Metode mengajar dalam pendekatan konstruktivisme
Salah satu contoh yang disarankan adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal yang biasa, padahal sesungguhnya tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya situasi konfik pada struktur kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka menduga cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal keduanya terdiri lebih dari satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan dicontohkan model untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap dalam pembelajaran konstruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)

Fase Eksplorasi
o   Diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan pertanyaan: “Apa yang kau    ketahui tentang cacing tanah?”.
o   Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis jika perlu).
o   Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan hal-hal yang tidak sesuai dengan jawaban mereka semula.

Fase Klarifikasi
o   Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
o   Siswa merumuskan kembali pengetahuan mereka tentang cacing tanah.
o   Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing yang cocok untuk dikembangbiakkan.
o   Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan merencanakan penyelidikan.
o   Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan untuk menguji rencananya.
o   Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat cacing tanah dulu dan sekarang.
Fase Aplikasi
o   Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya, dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil kelompok dalam diskusi kelas.
o   Secara bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi untuk para pemula yang ingin ber-“ternak cacing” tanah.
o   Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil pengamatannya.[13]

B.     KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DI SD
Secara historis, konstruktivisme berakar pada zaman klasik yunani terutama pada model dialog yang dikembangkan oleh Socrates dengan para murid-muridnya. Socrates bertaya pada murid-muridnya dan kemudian mereka menjawabnya sesuia denagn jenis pertanyaan yang diajukannya. Melalui pertanyaan tersebut para murid mengkonstruksi jawaban sambil menyadari kelemahan-kelemahan dalam kemampuan piker mereka (Resscl.2002)[14], kini. Dialog Socrates, atau lebih tepat disebut dengan teknik bertanya atau kegiatan Tanya jawab antara guru dengan siswamasih mereupakan sarana bagi guru yang akan membandingkan pelajaran konstrutivistik guru menggali potensi belajar secara memfasilitasi perkembangannya, pengalaman-pengalaman belajar dialog. Teknik bertanya atau kegiatan Tanya jawab seperti relevan dengan teknik bertanya serta model-model pertanyaan dalam pembelajaran ips.
Pada abad ke-20, Jean Piaget dan Jhon Dewey mengembangkan teori pendidikan dan perkembangan siswa (childhaad development and education) atau yang dikenal dengan progres sive education yang kemudian berpengaruh terhadap preoses kelahiran aliran konstruktivistik dalam pembelajaran serta pengembangan kurikulum. Dalam teori yang dikembangkannya, piaget meyakini bahwa manusia belajar melalui proses konstruksi satu stuktur logika setelah stuktur logika lain dicapainya. Maksudnya, manusia dapat mempelajari suatu yang baru setelah sesuatu yang lain dipelajari. Dia juga menyimpulkan bahwa kemampuan nalar anak dan cara pikirannya (mode of thinking) berbeda dengan cara piker orang dewasa.
Teori pembelajaran konstrutivistik semakin kuat setelah munculnya para pemikir dalam pendidikan. Psikologi dan sosiologi yang mengembangkan perspektif baru dalam pembelajaran. Beberapa diantaranya adalah Lev Vygotsky, Jenome Brunner, and  David Ausubel. Vygotsky melahirkan aspek social dalam pembelajaran kedalam pembelajaran konstrutivistik.
Sedangkan Jerome Brunner memelapori pentingnya perubahan kurikulum yang didasarkan atas pemikiran bahwa belajar merupakan proses yang aktif serta proses social dimana para siswa mengkonstruksi gagasan-gagasan atau konsep baru yang didasarkan atas pengetahuan yang telah dipelajarinya. Pembelajaran dengan menggunakan konsep yang diambil dari beberapa disiplin tertentu adalah relavan dengan pemikiran Brunner.[15]

C.    JENIS-JENIS KONSTRUKTIVISME
Menurut Suparno (1997:43)[16] konstruktivisme dapat di bedakan menjadi kosntruktivisme psikologis dan konstruktivisme sosiologis. Konstruktivisme sosiologis bertitik tolak dari perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya. Adapun konstruktivisme sosiologis lebih menekankan pada masyarakat yang membangun pengetahuan. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu konstruktivisme yang lebih personal berkembang atas ide Piaget, dan yang lebih sosial berkembang atas ide Piaget, dan yang lebih sosial berkembang atas ide Vysotsky. Adapun konstruktivisme sosiologis berdiri sendiri.
1.      Konstruktivisme Psikologis Personal
Konstruktivisme psikologis personal sering disebut konstrutivisme kognitif Piaget. Menurut paham ini konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses organisasi dan adaptasi. Organisasi merupakan kemampuan organisme mengsistematiskan atau mengorganisasikan proses-proses fisik atau psikologis menjadi struktur-struktur. Struktur merupakan sistem yang teratur dan berhubungan yang memuat konsep-konsep yang saling terkait satu sama lain.
Adaptasi merupakan kemampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Adaptasi di lakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi, seseorang menggunakan struktur kognitif atau sesuatu yang dimiliknya untuk menanggapi masalah lngkungan. Dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur kognitif yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungan.
Proses pembelajaran akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan peringakat perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaknya banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang dengan interaksi dengan teman sebaya. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan dan secara aktif mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan (Surya: 59)
Selanjutnya Surya (2003:59)[17] mengatakan implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran, adalah sebagai berikut :
a.       Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, dalam mengajar guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.      Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya.
c.       Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya di rasakan baru tetapi tidak asing.
d.      Beri peluang agar nak belajar sesuai dengan peringkat perkembangannya.
e.       Di dalam kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi
2.      Konstruktivisme Psikologi Sosial
Konstruktivisme psikologis sosial dikembangkan berdasarkan ide dari Vygotsky. Menurut paham ini konstruksi pengetahuan terjadi melalui iteraksi sosial antar siswa. Pengetahuan dikonstruksi oleh setiap individu, yang selanjutnya keadaan ini dapat disesuaikan oleh setiap individu. Konstruksi pengetahuan terjadi karena adanya hubungan yang kompleks antara elemen-elemen tingkah laku siswa dan interaksi sosial.
Vygotsky menyatakan bahwa bahasa merupakan aspek sosial. Pembicaraan yang bersifat egosentrik dari anak merupakan permulaan dari pembentukan kemampuan berbicara yang pokok (inner speech) yang akan menjadi alat dalam berfikir. Inner speech berperan dalam pembentukan pengertian spontan. Pengertian spontan mempunyai dua segi yaitu pengertian dalam diri sendiri dan pengertian dalam diri sendiri dan pengertian untuk orang lain. Anak akan berusaha mengungkapkan pengertian yang mereka miliki dengan simbol yang sesuai untuk berkomunikasi dengan orang lain.
3.      Konstruktivisme Sosiologi
Konstruksi sosiologis menekankan pengetahuan ilmiah sebagai konstruksi sosial, bukan konstruksi individual. Dalam arti kata bahwa pengetahuan merupakan penemuan sosial dan sekaligus faktor dalam pereubahan sosial. Sebagaiman dikemukakan oleh Berger yang mengatakan bahwa kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain.
Pandangan kelompok konstruktivisme sosiologis ini menekankan lingkungan, masyarakat dan dinamika manusia akan dapat melakukan pembentukan ilmu pengetahuan. Mereka cenderung mengambil fungsi dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan manusia.  Hal ini bertentangan dengan konstruktivisme personal yang beranggapan bahwa pengetahuan seseorang itu bentukan oranng itu sendiri sehingga tidak dapat masyarakat menentukan konstruksi pengetahuan seseorang, melaiankan orang itu sendiri yang tetap harus menginterfrestasikan dan mengambil makna.
Pada pemikiran kelompok konstruktivisme sosiologis ini sejalan dengan pemikiran Witting (dalam Muhibbin, 2005 : 66)[18], yang memberikan pandangan tentang belajar sebagai “...any retatively permanent change in  an organism behavioral repertoire that accurs as aresult of experience”, Maksunya bahwa belajar merupakan perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala aspek tingkahlaku organisme, sebagai hasil pengalama. Perubahan tersebut terjadi melalui suatu proses,  artinya membutuhkan waktu.
Menurut pandangan itu, belajar merupakan sesuatu proses perubahan sebagai akibat dari pengalaman, maka guru sebagai pembimbing peserta didik, harus memberikan berbagai macam pengalaman belajar (learning experience) kepada peserta didik, agar perubahan prilaku tersebut dapat terjadi. Kegiatan pembelajaran ini memiliki beberapa komponen, yaitu : 1). peserta didik yang berfungsi sebagai subjek belajar. 2). guru yang berfungsi sebagai pebimbing, fasilitator dan penyedia iklim belajar yang kondusif agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. 3). tujuan yang merupakan suatu arah yang ingin dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan.
Pembelajaran pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, pembelajaran kognitif (pengetahuan) mencangkup pemerorelahan informasi, dan konsep. Pembelajaran ini tidak hanya berkenann dengan bahan ajar,namun juga denagan analisis, dan penerapan nya pada situasi baru. Pembelajaran perilaku (keterampilan) mencakup pengembangan kompetensi peserta didik dalam mengerjakan tugas memecahkan masalah, dan menungkapkan pendapat. Adapun pembelajaran afektif (sikap) mencakup pengkajian dan penjelasan tentang perasaan dan preferensi.
Pembelajaran aktif atas informasi, keterampilan dan sikap berlangsung melalui proses peneyelidikan atau proses bertanya. Peserta didik dikondisikan dalam proses mencari (aktif) bukan sekadar menerima (pasif). Dengan kata lain, peserta didik harus mencari jawabannya sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sendiri. Mereka harus berupaya untuk mencari pemecahan atau masalah yang dikemukakan oleh guru. Dengan demikian mereka akan termotivasi untuk mencari informasi dan menguasai keteraampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Mereka tergerak untuk mengkaji apa yang mereka untuk berpikir, bekerja, dan merasa.
Berdasarkan pandangan di atas, berarti pembelajaran bukan sekedar proses penyampaian pengetahuan (transper of knowledger) sebanyak-banyaknya kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu peserta didik harus dibiasakan untuk menggunakan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki untuk memperoleh pengetahuan atauinformasi baru yang berguna bagi dirinya sekarang dan untuk masa yang akan datang.







D.    IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN IPS
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mebangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar. Paradikma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam konstruksi pengetahuan yang baru.
Pendekatan konstruktivisme menghendaki siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara mengajar yang membuat informasi lebih bermakna dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide mereka. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus di upayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut.
Oleh karena itu, agar pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupak solusi yang baik untuk dapat di terapkan.
Alasan lain perlunya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah pengetahuan yang akan dimiliki siswa bermula dari keaktifan siswa untuk mencari dan menemukan. Pengetahuan tidak akan di peroleh dari siswa yang pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, siswa kan menyesuaikan suatu pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang telah dimilikinya melalui berinteraksi sosial dengan siswa yang lain.
Konstruktivisme berawal dari pandangan kognitivisme. Kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivisme menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yang di terima disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
Paradigma konstruktivisme bertolak belakang dengan pola belajar mengajar konvensional yang pada umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1.         Guru yang banyak bicara di kelas
2.         Pembelajaran banyak di tekankan pada penggunaan buku teks
3.         Meskipun mengaku menggunakan strategi belajar kooperatif, gru jarang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang mestinya dapat diselesaikan bersama oleh siswa.
4.         Menugaskan siswa untuk mengerjakan tugas mandiri padahal tugasnya tergolong  low level skill yang tidak menurut kemampuan berfikir rumit, dan guru kurang menghargai kemampuan berfikir peserta didik.
5.         Pada umumnya guru tidak membuat siswa mampu berfikir dengan membiasakan mereka berhadapan dengan isu yang menantang, dan acapkali meminta siswa hanya memberikan satu jawaban yang benar.
6.         Pendidikan di sekolah dirumuskan sebagai dunia yang pasti. Peserta didik datang ke sekolah untuk tahu hal yang pasti tersebut, dan ini pun sepenuhnya di sediakan oleh guru. Tidak ada kemungkinan bagi siswa untuk memperoleh sesuatu yang lain yang ingin diketahuinya.[19]

E.     DAMPAK TEORI KONSTRUKTIVISME TERHADAP PEMBELAJARAN
Dampak teori konstruktivisme secara umum yang merupakan gabungan penerapan baik konsep Piaget maupun Vygotsky terhadap pembelajaran, antara lain dapat berkenaan dengan :
Tujuan Pendidikan: Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuanberfikir untuk menyelesaikan setiap masalah yang di hadapi.
Kurikulum: Konstruktivisme tidak memerlukan kurikulum yang Standarisasikan.Oleh karena itu, lebih diperlukan kurikulum yang telah disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa. Juga diperlukan kurikulum yang lebih menekankan keterampilanpemecahan masalah (hands-on problem solving). Dengan katalain kurikulum harus dirancang sedemikian rupa, sehinggaterjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan maupunketerampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
Pengajaran: Di bawah teori konstruktivisme, pendidik berfokus terhadapbagaimana menyusun hubungan antar fakta-fakta sertamemperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa.
Pengajaran harus menyusun strategi pembelajarannya denganmemperhatikan respon/tanggapan dari siswa serta mendorongsiswa untuk menganalisis, menafsirkan dan meramalkaninformasi. Guru juga harus berupaya dengan kerasmenghadirkan pertanyaan berujung terbuka (open-ended) danmendorong terjadinya dialog yang ekstensif antar siswa. Dalamkonsep ini sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitator danmediator dan teman (mitra belajar) yang membangun situasikondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan danketerampilan pada peserta didik.
Pembelajar Diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
Penilaian: konstruktivisme tidak memerlukan adanya tes yang baku sesuaidengan tingkat kelas. Namun, justru memerlukan sesuatu penilaian yang memerlukan bagian dari proses pembelajaran (penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa berperan lebih besar dalam menilai dan mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri. Hal ini merupakan alasan untuk menghadirkan portofolio secara ringkas dapat di maknai sebagai bukti-bukti fisik (hail catatan anekdot dan lain-lain) hasil belajar atau hasil belajar siswa.[20]









BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Belajar akan bermakna bagi peserta didik, apabila materi yang di pelajari sesuai dengan pengetahuan yang di miliki peserta didik sebelum mengikuti aktifitas pembelajaran. Apabila tidak terjadi keterkaitan antara kedua hal tersebut, maka yang terjadi hanyalah belajar mengingat dan menghafal dan bukan merupakan kondisi belajar yang kondusif dan berperan sebagai fasilitator, dan motivator agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
Ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
1.      Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2.      Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3.      Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.      Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5.      Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
6.      Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar
7.      Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8.      Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9.      Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10.  Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses  pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
11.  Menekankan bagaimana siswa belajar
12.  Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
13.  Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
14.  Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
15.  Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
16.  Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17.  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata


















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Susanto.2014. Pengembangan Pembelajaran IPS. Jakarta: Prenadamedia.
Dalyono. 2009. Psokologi pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nana Supriatna, dkk. Pendidikan IPS SD. Bandung: UPI PRESS.
Ratnawilisdahar. 2006.  teori-teori belajar dan pembelajaran. Bandung: Erlangga.
Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Rosda
Winasanjaya. 2005. Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi. Jakarta: Kencana.








[1] Winasanjaya, Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi Jakarta: Kencana, 2005. Hal 118
[2]Menurut Sanjaya (2007 : 194) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia, 2014)
[3]Menurut Poediadi (2005:70) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenadamedia group, 2014)
[4]Menurut Trianto (2007:13) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenamedia group, 2014)
[5]Menurut Nuhadi (2002 : 10) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenamedia group, 2014)
[6]Menurut wiriaatmadja (2002 : 307-308) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenamedia Group,2014)
[7]Menurut Karli (2003 : 2) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[8]Menurut Suparno (1997: 49) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[9]Ahmad Susanto, Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenadamedia group, 2014).
   Hal 113
[10] Dalyono, Psokologi pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009. Hal 34
[11]Menurut Sagala (2006 : 88) dalm buku Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[12]Ahmad Susanto, Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenadamedia group, 2014).
   Hal 113

[13] Ratnawilisdahar,  teori-teori belajar dan pembelajaran (Bandung: Erlangga, 2006), hal 103.
[14]Menurut (Resscl 2002) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[15]Nana Supriatna, dkk, Pendidikan IPS SD, (Bandung: UPI PRESS, 2007)
[16]Menurut Suparno (1997 : 43) dalam buku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[17]Menurut Surya (2003 : 59) dalam bku Pengembangan Pembelajaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[18]Menurut Muhibbin (2005 : 66) dalam buku Pengembangan Pembelejaran IPS (Jakarta : Prenamedia group, 2014)
[19]Ahmad Susanto, Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta: Prenadamedia group, 2014).
   Hal 139

[20] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung, 2014). Hal 122

1 komentar:

  1. Merit Casino Review – Merit Casino 2020
    Merit Casino 메리트카지노 is an 카지노 online casino that offers online gaming. It was established in 바카라 사이트 2019 and is owned and operated by the UK Gambling Commission.

    BalasHapus